Dalam lanskap pendidikan tinggi Indonesia, seringkali stigma dan hierarki tak terucapkan membayangi. Perguruan tinggi di kota-kota besar dengan label "terkenal" dan "mahal" seolah menjadi tolok ukur kesuksesan, sementara institusi di daerah terpencil, khususnya di lingkungan pesantren, kerap dipandang sebelah mata. Namun, narasi ini perlu direkonstruksi. Artikel ini akan mengkaji mengapa mahasiswa yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi terpencil di desa, terutama yang berafiliasi dengan pesantren, memiliki potensi unik untuk tidak hanya bersaing, tetapi bahkan melampaui rekan-rekan mereka dari kampus-kampus "elit", berbekal ketahanan mental, kedalaman spiritual, dan keterampilan aplikatif yang khas.
1. Lingkungan Pembelajaran yang Kondusif dan Holistik
Perguruan tinggi di daerah terpencil, khususnya yang berakar pada tradisi pesantren, seringkali menawarkan lingkungan belajar yang lebih kondusif dan holistik. Jauh dari hiruk pikuk kota, mahasiswa dapat fokus sepenuhnya pada studi tanpa banyak distraksi. Lingkungan pesantren, misalnya, tidak hanya mengajarkan ilmu akademis, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral, spiritualitas, dan disiplin tinggi. Pendidikan karakter yang kuat ini membentuk pribadi yang jujur, tekun, dan bertanggung jawab – fondasi krusial bagi kesuksesan di bidang apapun.
Studi kasus: Banyak pondok pesantren yang kini mengembangkan jenjang perguruan tinggi menekankan integrasi ilmu agama dan ilmu umum. Hal ini menghasilkan lulusan yang tidak hanya menguasai teori, tetapi juga memiliki kedalaman maqashid syariah (tujuan syariat) dalam pendekatannya, serta kepekaan sosial yang tinggi.
2. Kemandirian dan Resiliensi: Modal Berharga
Mahasiswa dari kampus desa seringkali dihadapkan pada keterbatasan fasilitas dibandingkan kampus kota. Keterbatasan ini, alih-alih menjadi penghalang, justru menumbuhkan kemandirian (self-reliance) dan resiliensi (ketahanan) yang luar biasa. Mereka terbiasa memecahkan masalah dengan sumber daya terbatas, beradaptasi dengan kondisi yang ada, dan mencari solusi kreatif. Kemampuan ini adalah aset tak ternilai di dunia kerja yang dinamis dan penuh tantangan, jauh lebih penting daripada sekadar paparan fasilitas mewah.
Hipotesis: Lingkungan yang lebih sederhana mendorong inovasi bottom-up dan kemampuan beradaptasi, keterampilan yang sangat dicari oleh industri modern yang cepat berubah.
3. Keterlibatan Komunitas dan Relevansi Lokal
Perguruan tinggi di desa, terutama yang berbasis pesantren, memiliki keterikatan kuat dengan komunitas lokal. Mahasiswa seringkali terlibat langsung dalam program pengabdian masyarakat, menghadapi masalah riil di lapangan, dan berkontribusi pada solusi. Interaksi langsung ini mengembangkan keterampilan komunikasi, kepemimpinan, dan empati sosial yang tidak selalu didapatkan di kampus-kampus besar yang mungkin lebih fokus pada teori. Relevansi kurikulum dengan kebutuhan lokal juga seringkali lebih kuat, menciptakan lulusan yang siap berkontribusi langsung pada pembangunan daerah.
Contoh Observasi: Lulusan dari STIDAR (Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Raudlatul Iman) Sumenep, misalnya, dengan program studi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) dan Bimbingan Konseling Islam (BKI), secara inheren dilatih untuk memahami dan mengatasi persoalan sosial di akar rumput, sebuah keahlian yang sangat dibutuhkan di seluruh pelosok negeri.
4. Kedalaman Spiritual dan Keseimbangan Hidup
Keberadaan dalam lingkungan yang sarat nilai spiritual seperti pesantren memberikan mahasiswa keunggulan dalam keseimbangan hidup. Mereka belajar mengelola stres, menemukan makna dalam setiap aktivitas, dan memegang teguh prinsip-prinsip moral. Kedalaman spiritual ini tidak hanya membentuk karakter yang kuat, tetapi juga membekali mereka dengan ketenangan batin yang esensial untuk pengambilan keputusan yang bijak di bawah tekanan.
Kesimpulan
Label "terkenal" atau "mahal" pada perguruan tinggi seringkali bersifat artifisial, lebih berkaitan dengan citra pasar daripada kualitas esensial. Mahasiswa yang berani menempuh jalan pendidikan di perguruan tinggi terpencil, terutama di desa-desa dengan atmosfer pesantren yang kental, sesungguhnya sedang membangun fondasi karakter, kemandirian, dan kedalaman spiritual yang tak ternilai harganya. Mereka adalah mutiara yang terbentuk di dalam cangkang kesederhanaan, siap memancarkan cahaya keunggulan di kancah nasional maupun global, membuktikan bahwa kehebatan sejati tidak dibatasi oleh letak geografis atau besarnya biaya kuliah, melainkan oleh kekuatan jiwa dan ketajaman ilmu yang diasah dengan penuh ketulusan.
Ferry Arbania , Sahabat Indonesia