![]() |
Ist. Orang menuli Puisi |
Di belantara zaman yang sarat hikmah, terukir kisah nan sarat ibrah, tentang seorang alim nan faqih, Al-Imam Najmuddin Umar An-Nasafi rahimahullah. Beliau, seorang pelita ilmu di zamannya, tak hanya masyhur dengan keluasan fikih dan ketajaman akal, namun juga dikenal akan keindahan untaian kata, seorang penyair yang merangkai aksara laksana permata.
Diriwayatkan oleh Syekh M. Nawawi Banten, seorang ‘allamah dari negeri Jawiy, dalam risalahnya yang penuh berkah, Tsimarul Yani‘ah fir Riyadhil Badi‘ah, sebuah mutiara hikmah terungkap. Kala menjelaskan tentang interogasi dua malaikat mulia, Munkar dan Nakir, di alam barzakh—sebuah jembatan menuju akhirat—Syekh Nawawi menyingkap sebuah pengecualian yang jarang terjamah akal awam. Sebagian hamba Allah, dengan karunia-Nya yang tak terhingga, akan diringankan dari dahsyatnya fitnah kubur. Dan di antara mereka, terangkai kisah Al-Imam An-Nasafi.
Waktu bergulir, sang Imam berpulang ke haribaan Ilahi, menggenapi janji setiap jiwa. Jasadnya yang suci bersemayam di liang lahat, menunggu tibanya Hari Kebangkitan. Namun, ruhnya yang cemerlang, dalam balutan cahaya keimanan, tetap menyapa hati para murid dan sahabat. Tak sedikit dari mereka yang dianugerahi karunia untuk bersua dengan sang Imam dalam mimpi, di alam malakut yang tersembunyi dari pandangan kasat mata.
Dalam salah satu mimpi yang membekas, para ulama berdialog dengan ruh mulia Al-Imam An-Nasafi. Mereka, dengan kerinduan yang mendalam dan tawadhu’ yang terpuji, melontarkan tanya yang seringkali menggelayuti benak setiap mukmin: "Wahai Imam kami, kayfa ajabta Munkaran wa Nakiran? Bagaimana gerangan engkau menjawab pertanyaan dua malaikat penjaga kubur itu?"
Seketika, lisan mulia sang Imam menjawab, dengan suara yang mengalun syahdu bagai desir angin surga: "Innahuma sa`alani bin nasr fa ajabtuhuma bin nazm, fakharaja bi idznillah ta'ala." Sebuah jawaban yang mengguncang sanubari. "Keduanya bertanya kepadaku dengan prosa," tutur beliau, "namun kujawab keduanya dengan puisi. Maka, dengan izin Allah Ta'ala, keduanya pun pergi meninggalkanku."
Keajaiban syair. Di hadapan haibah dua malaikat yang wibawanya mampu mengguncang jiwa, Al-Imam An-Nasafi justru menyambut dengan untaian syair yang menggetarkan. Ini bukan sekadar kepiawaian berbahasa, namun manifestasi dari kemurnian tauhid dan kekokohan akidah yang telah mendarah daging dalam dirinya. Seakan-akan, ruhnya yang telah menyatu dengan keindahan kalam ilahi, mampu merespons dengan bahasa yang melampaui logika dunia fana.
Adapun syair agung yang dilantunkan sang Imam di hadapan Munkar dan Nakir, sebagaimana diabadikan oleh Syekh M. Nawawi Banten, adalah:
ربي الله لا إله سواه
ورسولي محمد مصطفاه
وولي كتاب ربي وديني
هو ما اختاره لنا وارتضاه
مذهبي مرتضى وفعلي ذميم
أسئل الله عفوه ورضاه
Sebuah untaian bait yang sarat makna, mencerminkan rukun iman dan rukun Islam yang tertanam kuat: "Tuhanku Allah, tiada sesembahan selain Dia," "Dan Rasulku adalah Muhammad, pilihan-Nya." "Pemimpinku adalah Kitab Tuhanku dan agamaku," "Itulah yang Dia pilih dan ridhai bagi kami." "Mazhabku diridhai, namun perbuatanku tercela," "Aku memohon ampunan dan ridha-Nya kepada Allah."
Syair ini bukan sekadar jawaban, melainkan sebuah i'tiraf (pengakuan) dan istighfar (permohonan ampun) yang tulus. Ia menunjukkan kerendahan hati seorang alim yang, meskipun dikaruniai ilmu nan luas, senantiasa menyadari kefanaan diri dan kesempurnaan Rabb-nya. Di dalamnya terkandung syahadatain, pengakuan terhadap risalah kenabian, kepatuhan terhadap syariat Allah yang termaktub dalam Al-Qur'an, dan penyesalan atas segala kekurangan diri. Inilah intisari akidah Ahlussunnah wal Jamaah, yang mengedepankan tauhidullah, ittiba' kepada sunnah Rasulullah, dan senantiasa berpengharapan akan rahmat dan ampunan-Nya.
Bahasa Hati di Alam Barzakh
Syekh M. Nawawi Al-Bantani dalam syarahnya yang masyhur, Nuruz Zhalam ala Aqidatil Awam, menguatkan hikmah ini. Beliau menjelaskan bahwa kedua malaikat penjaga kubur itu akan berbicara dengan setiap hamba dalam bahasa yang digunakannya di dunia. Sebuah keadilan dan kasih sayang Ilahi, agar setiap jiwa dapat memahami dan merespons interogasi tersebut.
"Wa yasa`alani kullu insan bilughatih," tutur Syekh Nawawi, "Keduanya (Munkar dan Nakir) bertanya kepada setiap ahli kubur dengan bahasanya sendiri." Pertanyaan-pertanyaan yang mujmal namun substansial: "Siapa Tuhanmu? Apa agamamu? Siapa Nabimu? Apa kiblatmu? Siapa saudaramu? Apa imammu? Apa jalan hidupmu? Apa amalmu?" Sebuah rentetan tanya yang merangkum keseluruhan eksistensi seorang hamba di dunia.
Bagi seorang mukmin yang teguh imannya, yang senantiasa istiqamah di atas manhaj Rasulullah, jawaban akan mengalir lancar dari sanubari. Dengan penuh keyakinan dan tsabat, ia akan bersaksi: "Asyhadu annahu 'abdullahi wa rasuluh." Aku bersaksi bahwa ia (Muhammad SAW) adalah hamba dan utusan Allah. Sebuah kesaksian yang bukan hanya lisan, namun telah merasuk ke dalam jiwa, mewujud dalam amal perbuatan.
Namun, bagi orang kafir dan munafik, suasana akan berubah drastis. Kengerian dan kegelapan akan menyelimuti mereka. Dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim, saat ditanya perihal Nabi Muhammad SAW, mereka hanya mampu menjawab dengan kegagapan: "Hah hah, la adri!" Oh, oh, aku tidak tahu! Sebuah penyesalan yang tiada guna, sebab hidayah telah disajikan di dunia, namun mereka berpaling.
Kisah Al-Imam An-Nasafi ini adalah isyarat bagi kita semua, para thalibul 'ilmi dan segenap kaum mukminin. Bahwa ilmu yang bermanfaat, iman yang kokoh, dan amal saleh yang ikhlas, adalah bekal utama di perjalanan panjang menuju kampung akhirat. Dan terkadang, keindahan kalam, yang terpancar dari hati yang bersih, dapat menjadi wasilah bagi datangnya rahmat dan fadhl dari Allah subhanahu wa ta'ala. Semoga kita semua digolongkan ke dalam hamba-hamba-Nya yang beruntung, yang senantiasa teguh di atas Shirathal Mustaqim hingga akhir hayat, dan dimudahkan dalam menjawab pertanyaan di alam kubur. Wallahu a'lam bish-shawab.