Buka Matsama 2025, Menag Tegaskan Kualitas Madrasah

FERRY ARBANIA
By -
0


Nadayana Rizqiyah Damayanti Putri membacakan puisi perpisahan diacara wisuda kelas akhir Madrasah Aliyah Raudlatul Iman - TIMARI 2025


Selasa, 15 Juli 2025
– Di gerbang awal tahun ajaran baru, sebuah gaung makna terdengar membahana dari jantung pendidikan Islam Nusantara. Menteri Agama (Menag) RI, Nasaruddin Umar, telah membuka tabir Masa Taaruf Siswa Madrasah (Matsama) 2025, sebuah ritual pengenalan yang serentak mengikat jiwa ribuan siswa di seantero Indonesia. Dari mimbar utama di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 4 Jakarta, di hadapan ribuan pasang mata yang memancar harapan, baik yang hadir secara luring maupun yang terhubung melalui jejaring maya dari pelosok negeri, Menag bukan sekadar berpidato. Beliau sedang mengukir kembali definisi madrasah, menempatkannya pada singgasana kemuliaan yang sesungguhnya.


Lebih dari Sekadar Sekolah, Ia adalah Pembentuk Arketipe Manusia Arif

Dengan sorot mata penuh kebijaksanaan, Menag Nasaruddin Umar menegaskan sebuah adagium yang patut terpatri di setiap sanubari. "Madrasah bukan sekadar lembaga pendidikan biasa," ujar beliau, suaranya mengalun tenang namun penuh wibawa, "melainkan lembaga yang menanamkan nilai-nilai spiritual dan membentuk kepribadian luhur peserta didik." Lebih dari sekadar bangku dan papan tulis, madrasah adalah rahim yang melahirkan insan kamil, manusia paripurna.

Beliau melanjutkan, dengan penekanan yang menusuk kalbu, "Madrasah bertanggung jawab mendidik siswa menjadi manusia yang arif, bukan sekadar cerdas secara akademik." Ini adalah seruan untuk melampaui batas-batas kognitif semata, menuju kedalaman batin yang mampu membedakan hak dan batil, memancarkan kearifan dalam setiap laku dan pikiran.


Anak-anak Menag, Saksi Bisu Keunggulan Madrasah

Untuk mematahkan stigma usang yang masih membayangi, Menag Nasaruddin Umar dengan bangga menghadirkan bukti yang tak terbantahkan: anak-anaknya sendiri. "Ketiga anak saya sekolah di sini dan semuanya menjadi dokter," tutur beliau, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya. Hadirin sontak bergemuruh dalam tepuk tangan, mengamini kebenaran kalimat yang baru terucap. "Bahkan ada yang lanjut kuliah ke Institut Teknologi Bandung (ITB) dan ke Australia dengan beasiswa. Itu bukti bahwa madrasah bisa bersaing dan bahkan unggul."

Kesaksian ini laksana tamparan lembut bagi anggapan bahwa lulusan madrasah hanya terbatas pada studi keagamaan semata. Madrasah, dengan kurikulum yang memadukan ilmu duniawi dan ukhrawi, telah membuktikan diri mampu melahirkan generasi yang bukan hanya fasih dalam fiqh dan hadits, namun juga piawai dalam sains dan teknologi, siap berkompetisi di panggung global.


Dari Siswa Menuju Murid, Dari Guru Menuju Mursyid: Kedalaman Makna Pendidikan

Menag kemudian mengajak seluruh civitas academica madrasah untuk menyelami kembali hakikat sejati pendidikan. "Dalam tasawuf, murid adalah orang yang bersungguh-sungguh mencari ilmu Allah," jelas beliau, "Maka madrasah seharusnya juga melahirkan generasi yang mencari ilmu dengan jiwa, bukan hanya sekadar menghafal pelajaran." Ini adalah ajakan untuk menghidupkan kembali tradisi keilmuan yang berbasis pada niat tulus dan pencarian hakikat, bukan sekadar akumulasi informasi.

Mempertajam makna, beliau membedakan antara guru biasa dan seorang mursyid – seorang pembimbing spiritual yang tak hanya menyampaikan materi, namun mampu mentransformasikan jiwa peserta didik. "Tidak semua guru bisa menjadi mursyid, namun setiap guru bisa terus diasah agar menjadi pembina yang tajam dan penuh hikmah." Sebuah pengingat akan panggilan agung para pendidik: untuk terus mengasah diri, menjadi lentera yang menerangi hati dan pikiran.


Kisah Klasik, Peringatan Abadi: Tanggung Jawab Pendidikan Agama

Dalam pidatonya yang sarat hikmah, Menag Nasaruddin Umar mengangkat sebuah kisah klasik yang menggetarkan jiwa, tentang urgensi pendidikan agama sejak dini. Beliau menuturkan cerita pilu tentang seorang anak yang tak bisa shalat, bukan karena enggan, melainkan karena tak pernah diajarkan. Dan di hari perhitungan kelak, anak itu menuntut pertanggungjawaban dari orang tuanya. "Anak itu berkata, 'Saya tidak pernah diajarkan'. Lalu orang tuanya ikut diseret ke neraka karena lalai dalam pendidikan agama," kata Menag, mengutip kisah tersebut sebagai pengingat keras bagi setiap orang tua akan amanah besar di pundak mereka.

Acara yang khidmat ini turut dihadiri oleh jajaran petinggi Kementerian Agama, termasuk Direktur Jenderal Pendidikan Islam Amien Suyitno, Sesditjen Pendidikan Islam Arskal Salim, Direktur KSKK Madrasah Nyayu Khodijah, Kakanwil Kemenag DKI Jakarta Adib, serta kepala madrasah dan guru se-Indonesia yang terpanggil jiwanya. Ribuan siswa dari berbagai penjuru Nusantara pun turut serta secara daring, menjadi bagian dari perkenalan nilai, budaya, dan karakter pendidikan madrasah yang senantiasa mengedepankan keseimbangan antara ilmu dunia dan akhirat.

Menutup wejangan bijaknya, Menag mengibaratkan kualitas guru sebagai gergaji yang harus senantiasa diasah. "Kalau guru tidak pernah diasah, maka tidak akan tajam dalam menyampaikan ilmu. Seperti gergaji tumpul, akan sulit memotong meskipun kayunya lunak," pungkasnya, sebuah metafora yang tajam dan tak terlupakan.

Matsama 2025, dengan pidato Menag yang sarat makna ini, bukan sekadar upacara pembukaan. Ia adalah momentum ikrar, pembuka lembaran baru bagi ribuan generasi muda madrasah untuk membentuk karakter sebagai insan berilmu, berakhlak mulia, dan berdaya saing tinggi. Mereka adalah tunas-tunas harapan yang siap menghadapi tantangan zaman, memimpin peradaban dengan bekal kearifan dari kawah candradimuka madrasah.


Posting Komentar

0 Komentar

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

Posting Komentar (0)

Statistik

3/related/default