![]() |
Ilustrasi foto:sumeneptravle.wordpress |
Di tanah Sumenep yang kaya akan sejarah dan kearifan lokal, berdiri tegak sebuah tempat yang menyimpan kisah-kisah di luar nalar, sebuah situs yang memancarkan magnet spiritual tak tertandingi:
Asta Gumuk. Terletak di Desa Kalimo’ok, Kecamatan Kalianget, tepatnya di sisi timur Lapangan Terbang Trunojoyo, makam ini dikenal sebagai peristirahatan abadi Kiai Ali Barangbang. Dinamakan "Barangbang" karena lokasinya di Dusun Barangbang, dan "Gumuk" yang berarti tanah tinggi, seolah melambangkan ketinggian ilmu dan karomah sang ulama.
Dari Garis Sunan Kudus: Sang Ulama Agung dari Paddusan
Kiai Ali Barangbang bukanlah sosok sembarangan. Silsilahnya terhubung langsung dengan darah biru keilmuan Islam, menelusuri garis keturunan Syekh Maulana Sayyid Jakfar As-Shadiq, atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Kudus. Dari garis keturunan Sunan Kudus lahir Pangeran Katandur, yang menurunkan empat putra ulama besar: Kiai Hatib Paddusan, Kiai Hatib Sendang, Kiai Hatib Rajul, dan Kiai Hatib Paranggan.
Dan dari putra pertama, Kiai Hatib Paddusan, inilah Kiai Ali Barangbang dilahirkan. Beliau wafat pada tahun 1092 Hijriah, meninggalkan jejak sebagai penyiar agama Islam yang sangat disegani. Tak hanya rakyat biasa, bahkan raja Sumenep pun pernah menundukkan diri, berguru kepadanya, mengakui keagungan ilmunya.
Kisah Ajaib Kera yang Mengaji: Antara Logika dan Karomah Ilahi
Kisah yang paling melegenda dan paling banyak diceritakan dari Kiai Ali adalah kemampuannya yang melampaui batas nalar: mengajari kera berbicara, bahkan sampai mengaji!
Dikisahkan, di masa pemerintahan Sumenep masih berbentuk kerajaan, salah seorang putra raja dititipkan kepada Kiai Ali untuk belajar mengaji. Singkat cerita, dalam proses belajar itu, sang pangeran dipukul oleh Kiai Ali. Pangeran kecil itu pun pulang dengan air mata dan mengadu kepada ayahandanya.
Mendengar perlakuan tersebut, sang raja murka. Namun, kebijaksanaannya menahan diri untuk tidak langsung menghukum. Prajurit diperintahkan memanggil Kiai Ali dan menanyakan alasan perbuatannya. Dengan tenang dan tanpa sedikit pun gentar, Kiai Ali menjawab bahwa beliau tidak memukul putranya, melainkan kebodohanlah yang dipukulnya, agar kebodohan itu tak lagi menempel pada diri sang pangeran.
Jawaban ini justru membuat raja merasa tersinggung, menganggap putranya direndahkan. Dalam kemarahannya, sang raja melontarkan sebuah tantangan yang mustahil: "Jika Kiai Ali memang bisa membuat orang pintar dengan memukul, silakan bawa seekor kera pulang, dan ajarilah kera itu mengaji!"
Kiai Ali menerima tantangan itu dengan lapang dada. Kera itu pun dibawa ke kediamannya. Setiap malam, Kiai Ali mengajak si kera memancing bersamanya. Hingga pada suatu malam, tepatnya malam ke-39, sebuah peristiwa luar biasa terjadi. Kiai Ali mengikatkan tali tambang sabut kelapa ke jari si kera, lalu membakarnya.
“Hai kera, jika api ini sampai pada jarimu dan terasa panas, teriaklah dengan mengatakan ‘panas’!” perintah Kiai Ali.
Dan mukjizat pun terjadi. Saat api menjilat, kera itu berteriak "Panas!", sebuah tanda bahwa ia telah bisa berbicara! Sejak saat itu, kera tersebut pun belajar mengaji.
Tibalah saatnya si kera menunjukkan kemampuannya di hadapan raja. Kiai Ali mengadakan pertemuan besar di keraton, disaksikan oleh raja, para punggawa, dan seluruh hadirin dalam sebuah pesta. Al-Qur'an diserahkan kepada si kera. Betapa terkejutnya raja dan seluruh yang hadir ketika melihat dan mendengar kera itu mengaji dengan lantunan yang indah dan fasih!
Setelah selesai mengaji, Kiai Ali melemparkan pisang kepada kera itu dan melontarkan sebuah kalimat yang menjadi pengingat abadi: “Ilmu Kalah Sama Watak” atau dalam bahasa Madura “Elmo Kala ka Bebethe”. Sebuah pelajaran mendalam bahwa kecerdasan dan ilmu sekalipun bisa takluk di hadapan watak yang buruk.
Terinspirasi oleh peristiwa itu, sang raja pun bersabda: "Barang siapa yang menuntut ilmu namun belum menginjakkan kakinya di tanah Barangbang (Asta Gumuk), maka ilmunya dianggap belum sempurna atau tidak sah." Sebuah pengakuan atas karomah dan keberkahan tempat ini.
Ziarah Tak Berhenti, Keberkahan yang Terus Mengalir
Kisah Kiai Ali Barangbang, meskipun terdengar seperti legenda yang melampaui akal sehat, tetap memegang tempat istimewa di hati masyarakat. Entah karena legenda itu sendiri atau memang karena keberkahan yang terpancar, makam Kiai Ali tak pernah sepi dari para peziarah. Mereka datang dari berbagai penjuru, dengan beragam tujuan dan harapan. Ada yang menziarahi untuk mencari keberkahan ilmu, ada pula yang memohon kelancaran rezeki dan hajat hidup.
Supriyadi, seorang pengelana spiritual dari Situbondo, adalah salah satu contohnya. Ia sudah berbulan-bulan menetap di Asta Gumuk, menunggu "wisik" atau petunjuk untuk melanjutkan perjalanannya. Ia terpesona oleh karomah Kiai Ali dan ingin menyerap keberkahannya. Keyakinan akan sempurnanya ilmu setelah menjejakkan kaki di Asta Gumuk menjadi alasan kuat baginya untuk berlama-lama di sana.
Suhabi, juru kunci makam Asta Gumuk yang telah lima tahun menjaga tempat suci ini, bersaksi bahwa peziarah datang bukan hanya dari Madura. Banyak pula yang datang dari Jawa, terutama dari daerah "tapal kuda" seperti Situbondo, Probolinggo, dan Pasuruan, baik secara rombongan maupun perorangan.
Namun, ada satu keunikan yang menjadi ciri khas Asta Gumuk: makam Kiai Ali sendiri tidak memiliki atap. Menurut Suhabi, ini bukan karena tidak ada upaya, melainkan karena Kiai Ali "menolak" diberi atap. Setiap kali dicoba diberi cungkup, selalu roboh diterpa angin kencang. Ini melahirkan keyakinan bahwa makam beliau memang tidak bersedia dilindungi atap, mungkin sebagai simbol kesederhanaan dan kedekatannya dengan alam.
Meskipun demikian, Suhabi berharap bagian depan area makam, yang berukuran sekitar 100m x 150m, dapat diberi atap. Hal ini sangat penting agar para peziarah tidak kehujanan saat musim hujan seperti sekarang. Saat ini, satu-satunya tempat berteduh hanyalah mushola kecil dan area parkir yang tidak terlalu luas, sehingga tidak cukup menampung peziarah dalam jumlah besar.
Asta Gumuk bukan sekadar makam, melainkan sebuah monumen spiritual yang terus hidup, menyiratkan pesan-pesan kearifan dan keimanan. Kisah Kiai Ali Barangbang dan kera yang mengaji akan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari lembaran sejarah Sumenep, sebuah pengingat abadi akan kekuatan ilmu, karomah ulama, dan pelajaran mendalam tentang watak manusia. (Ferry Arbania)
Ferry Arbania , Sahabat Indonesia