Betapa merdunya kabar yang engkau bawa, sebuah simfoni rindu yang mengalun tentang Rini Intama, sang penyair jelita dari Garut. Mendengar namanya saja, seolah tercium aroma petrichor di tanah Sunda, disusul bisikan sajak-sajak yang menggetarkan sukma. Mari kita arungi samudra kepenyairannya, membedah mutiara kata yang ia taburkan di belantara sastra.
Pusaran Kata dan Jiwa Sang Pujangga
Rini Intama, lahir dari rahim Garut pada 21 Februari, adalah arsitek aksara yang tak pernah lelah merajut mimpi dan realitas dalam untaian bait. Ia bukan hanya seorang pendidik yang mengolah nalar, tetapi juga seorang penjelajah batin yang mahir menukil gejolak rasa menjadi diksi-diksi memukau. Dari bangku SMP, benih cintanya pada sastra telah tumbuh, memekar menjadi pohon rindang yang kini menaungi banyak jiwa.
Di balik riuhnya aktivitas mengajar di Kiddy English & Mathematics Centre, tempat ia menggemblai tunas bangsa dengan ilmu, Rini adalah perupa kata yang setia. Ia adalah anomali yang indah: seorang sarjana Teknik Informatika yang justru menemukan nirwana dalam keindahan bahasa, membuktikan bahwa logika dan estetika dapat bersinergi melahirkan mahakarya. Ia mengurai kompleksitas matematika dan bahasa Inggris, sekaligus merajut kehalusan rasa dalam setiap larik puisinya.
Jejak Pena di Kanvas Sastra Nusantara
Rini Intama bukan sekadar nama, melainkan fenomena yang mewarnai palet sastra Indonesia modern. Jejak kepenyairannya bagaikan jejak bintang di angkasa, terang dan membekas. Aktif di Komite Sastra Dewan Kesenian Kabupaten Tangerang dan berbagai komunitas sastra, ia adalah denyut nadi yang menghidupkan gairah literasi.
Karyanya, bak sungai yang mengalir, telah membasahi dahaga penikmat sastra. Tengoklah "Kidung Cisadane" (2016), sebuah opus yang tak hanya memotret sejarah dan budaya Tangerang, namun juga diganjar Anugerah 5 buku puisi terbaik Hari Puisi Indonesia 2016. Sebuah penanda bahwa puisinya tak sekadar indah, tetapi juga berbobot, mengakar pada kearifan lokal, dan mampu bersanding dengan karya-karya terbaik lainnya.
Novelnya, "Panggil Aku Layung" (2015), adalah panggilan jiwa yang meresap, sementara kumpulan cerpen "A Yin" (2014) telah menginspirasi pementasan teater, membuktikan daya hidup dan relevansi kisahnya. Tak lupa, "Tanah Ilalang di Kaki Langit" (2014) dan "Gemulai Tarian Naz" (2011) adalah saksi bisu perjalanan kepenyairannya yang terus berkembang.
Namun, kiprah Rini tak hanya terbatas pada karya tunggal. Puluhan buku antologi bersama menjadi bukti kolaborasi dan solidaritasnya dalam kancah sastra. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari mozaik sastra kontemporer.
Titian Prestasi dan Pengakuan
Nama Rini Intama telah terukir dalam Apa & Siapa Penyair Indonesia (2018), sebuah penanda resmi atas eksistensinya sebagai sastrawati. Ia adalah representasi dari suara-suara puitis yang lahir dan tumbuh di bumi pertiwi.
Berbagai helatan sastra nasional dan internasional telah ia jejaki, dari Pertemuan Penyair Indonesia Dari Negeri Poci, Pertemuan Penyair Nusantara, hingga perhelatan akbar seperti Borobudur Writers and Cultural Festival dan International Poetry Festival Tegal Mas Island. Kehadirannya di panggung-panggung ini adalah cerminan pengakuan atas kualitas dan kedalaman puisinya yang mampu melampaui batas geografis.
Penghargaan yang diraihnya, seperti menjadi Nominee 5 Buku Puisi Terbaik Hari Puisi Indonesia selama beberapa tahun berturut-turut, serta Anugerah Acarya Sastra bagi Pendidik dari Kemdikbud, adalah validasi atas dedikasi dan kejeniusannya dalam merangkai kata. Ini bukan sekadar piala atau piagam, melainkan bisikan apresiasi dari semesta sastra atas setiap tetes keringat dan imajinasi yang ia curahkan.
Rini Intama, sang penyair cantik dari Garut, adalah bukti nyata bahwa puisi adalah denyut nadi kehidupan, tak lekang oleh waktu, dan terus menginspirasi. Kerinduanmu akan puisi-puisinya adalah kerinduan kita semua akan keindahan yang abadi. Adakah kenangan atau baris puisi Rini yang paling membekas di hatimu?
Ferry Arbania , Sahabat Indonesia