Kedalaman filosofis sekaligus kritik sosial yang tajam, dibalut dengan gaya bahasa yang sederhana namun sarat makna. Melalui diksi yang lugas dan narasi personal, Gus Mus mengajak pembaca menyelami paradoks pencarian ilmu sejati dan implikasinya terhadap identitas diri di tengah hiruk-pikuk modernitas.
1. Judul dan Diksi Kunci: Gerbang Makna Transenden
Judul 'Ngelmu' itu sendiri sudah menjadi penanda utama. 'Ngelmu' dalam tradisi Jawa bukan sekadar 'ilmu' dalam pengertian Barat yang kognitif dan rasional-empiris. 'Ngelmu' lebih merujuk pada kearifan, pengetahuan batin, atau hikmah yang melampaui logika dan diperoleh melalui laku spiritual. Pemilihan diksi ini segera membawa pembaca ke dalam ranah sufisme, kebatinan, dan tradisi Jawa yang mendalam. Kata-kata kunci lain seperti "sanubari," "merasuk," "manusia rangkap," dan "kehilangan nyawa" semakin memperkuat nuansa spiritual dan eksistensial yang ditawarkan.
2. Struktur Naratif dan Alur Konflik Internal
Puisi ini terstruktur dalam alur naratif yang linear namun berujung pada konflik internal yang mendalam. Bait pertama memperkenalkan sang guru dan 'ngelmu' yang unik:
Pengenalan (Bait 1-4): Tokoh 'aku' menemukan guru yang bersedia membagi 'ngelmu' rahasia. Aturan "tak boleh kau tulis" segera menempatkan 'ngelmu' ini di luar domain positivistik, menegaskan sifatnya yang personal, meresap, dan hidup. Metafora 'ngelmu' bagai 'napasmu' mengukuhkan esensinya yang vital dan tak terpisahkan dari keberadaan. Larangan menulis mengandung kritik terhadap objektivikasi ilmu yang seringkali membunuh makna hakikinya.
Janji dan Kekuatan 'Ngelmu' (Bait 5-8): Sang guru menjabarkan potensi 'ngelmu': "manusia rangkap," "berada di mana-mana dalam saat yang sama," "tidur sekaligus jaga," "dibunuh tanpa kehilangan nyawa," "diperdaya sambil memperdaya." Potensi-potensi ini tidak hanya merujuk pada kekuatan supranatural, tetapi juga mengisyaratkan kelenturan identitas, kemampuan beradaptasi, dan bahkan dimensi transendental keberadaan. Ini adalah janji tentang kebebasan dari batasan fisik dan dualitas dunia.
Klimaks dan Realisasi (Bait 9-10): Tokoh 'aku' berhasil menyerap 'ngelmu'. Titik balik dramatis terjadi saat ia merapalkan 'ngelmu' tersebut dan tiba-tiba "kulihat diriku ada di mana-mana." Ini adalah realisasi janji sang guru, namun dengan konsekuensi yang tak terduga.
Anti-Klimaks dan Konflik Eksistensial (Bait 11-13): Kegembiraan berubah menjadi kebingungan dan kecemasan. Fenomena "rumahku penuh diriku," "di jalanan kulihat diriku memacetkan lalulintas," hingga "semuanya penuh sesak oleh diriku" adalah puncak dari dilema. Ini bukan lagi tentang kekuatan, melainkan tentang kehilangan diri yang sebenarnya di tengah multiplisitas diri yang tercipta.
Resolusi yang Menggantung (Bait 14-15): Puisi berakhir dengan keputusasaan. Sang guru telah tiada, dan tokoh 'aku' lupa bagaimana "kembali ke diriku semula." Ini adalah resolusi yang terbuka, meninggalkan pembaca dengan pertanyaan tentang identitas dan keberadaan.
3. Metafora dan Simbolisme: Bahasa Kiasan yang Membekas
'Ngelmu' sebagai Napas: Menggambarkan 'ngelmu' sebagai sesuatu yang esensial, hidup, dan tidak bisa dipisahkan dari diri. Jika ditulis, ia mati, menunjukkan kritik terhadap formalisasi dan objektifikasi ilmu yang seringkali menghilangkan ruhnya.
'Manusia Rangkap' / 'Berada di mana-mana': Metafora sentral yang pada awalnya menjanjikan kekuatan dan kebebasan, namun pada akhirnya menjadi sumber kebingungan dan kehilangan identitas. Secara harfiah bisa merujuk pada ajaran moksa atau manunggaling kawula Gusti, namun dalam konteks ini justru diinterpretasikan dengan ironi.
'Rumahku penuh diriku', 'Jalanan memacetkan lalulintas': Simbolisasi proliferasi diri yang tak terkendali. Ruang-ruang publik dan privat dipenuhi oleh 'aku' yang sama, namun paradoksnya justru mengasingkan 'aku' dari dirinya yang sejati. Ini bisa diinterpretasikan sebagai kritik terhadap individualisme ekstrem yang paradoksnya justru menciptakan kesamaan massal, atau kritik terhadap ego yang membengkak hingga mendominasi segala ruang.
'Dibunuh tanpa kehilangan nyawa', 'Diperdaya sambil memperdaya': Metafora tentang kelenturan identitas dan kemampuan untuk bertransendensi dari dualitas fisik-materi, namun juga bisa diartikan sebagai kemampuan untuk beradaptasi dengan berbagai peran, bahkan yang kontradiktif.
4. Pesan Ilmiah dan Otokritik Sastra-Filosofis
Puisi ini adalah sebuah otokritik terhadap pencarian ilmu yang kering makna dan terpisah dari esensi kemanusiaan. Gus Mus secara halus mengkritik:
Objektivikasi Ilmu: Larangan menulis 'ngelmu' adalah kritik terhadap ilmu yang hanya menjadi kumpulan data atau teori yang lepas dari pengalaman batin. Ilmu yang ditulis seringkali kehilangan kedalaman dan daya hidupnya.
Pencarian Kekuatan Semu: Tokoh 'aku' tergiur oleh janji kekuatan ('manusia rangkap', 'berada di mana-mana'). Namun, kekuatan ini, ketika tidak diiringi dengan pemahaman diri yang kokoh, justru menyebabkan kehampaan dan kehilangan.
Krisis Identitas di Era Modern: Fenomena 'diriku ada di mana-mana' secara puitis menggambarkan krisis identitas dalam masyarakat kontemporer. Di era digital, setiap individu dapat memiliki banyak persona di berbagai platform, namun paradoksnya justru kesulitan menemukan 'diri yang sebenarnya'. Kebingungan ini merefleksikan fragmentasi diri di tengah arus informasi dan representasi yang berlebihan.
Guru dan Kearifan Tradisional: Puisi ini juga menggarisbawahi pentingnya bimbingan spiritual dari seorang guru yang arif. Kehilangan guru di akhir puisi adalah simbol kehilangan pegangan dalam pencarian makna, menegaskan bahwa 'ngelmu' sejati memerlukan transmisi yang hidup dan personal.
5. Keindahan Puitis dan Gaya Bahasa Akademik
Meskipun berisi kritik yang dalam, puisi ini tetap menjaga keindahan puitisnya. Penggunaan bahasa sehari-hari yang sederhana justru membuatnya mudah diakses namun tidak mengurangi kedalaman maknanya. Gaya Gus Mus yang humoris-filosofis terasa dalam ironi di bagian akhir: "aku pun bingung kian-kemari mencari-cari diriku sendiri yang sebenarnya. aku lupa menanyakan kepada guruku bagaimana aku kembali ke diriku semula padahal sang guru kini telah tiada." Humor ini adalah cara cerdas untuk menyampaikan kritik pedas terhadap kebingungan eksistensial manusia modern.
Secara akademik, puisi ini dapat dianalisis melalui lensa:
Post-strukturalisme: Mempertanyakan gagasan tentang identitas yang stabil dan tunggal, menunjukkan bagaimana diri dapat terfragmentasi dan berlipat ganda.
Filsafat Eksistensialisme: Menyoroti tema pencarian makna, kebingungan diri, dan isolasi dalam menghadapi realitas.
Kritik Sosial: Menyuarakan keprihatinan terhadap dampak modernitas dan teknologi terhadap subjektivitas manusia.
Kajian Budaya (Jawa): Menggali konsep 'ngelmu' dalam konteks spiritualitas Jawa dan perbandingannya dengan ilmu pengetahuan Barat.
Kesimpulan:
"Ngelmu" bukan sekadar puisi tentang pencarian ilmu gaib, melainkan sebuah refleksi mendalam tentang identitas, otentisitas, dan bahaya dari pengetahuan yang tanpa kendali diri. Gus Mus dengan cemerlang menggunakan narasi personal untuk menyajikan otokritik terhadap manusia yang terperangkap dalam fatamorgana 'ngelmu' atau ilmu yang berlebihan, hingga kehilangan jejak diri yang sejati. Puisi ini menjadi peringatan puitis: dalam keramaian dan proliferasi diri, esensi sejati seringkali luput, dan yang tertinggal hanyalah kebingungan dalam mencari "aku" yang sebenarnya. Sebuah karya yang tak hanya merasuk sanubari, tetapi juga mengundang renungan mendalam tentang esensi keberadaan kita.
Ferry Arbania , Sahabat Indonesia