Jawa Timur: Episentrum Estetika, Kawah Candradimuka Sastra, dan Taman Para Pujangga

FERRY ARBANIA
By -
0
by: Ferry Arbania
 Di hamparan bumi pertiwi, tepatnya di belahan timur Jawa, terhampar sebuah lansekap kultural yang tak hekang oleh zaman, tempat tunas-tunas aksara bersemi, melahirkan fenomena sastra yang tiada tara. Jawa Timur, bukan sekadar wilayah geografis, melainkan sebuah kawah candradimuka imajinasi, pusaran energi kreatif yang tak henti-hentinya melahirkan para pujangga dan karya-karya sastra monumental. Esai ini, sebuah refleksi atas gelombang pasang surut dalam samudra literasi, berupaya menyibak tabir filosofi sastrawi yang melingk kupi geliat kesusastraan di ranah ini, khususnya dalam lintasan satu tahun terakhir, yakni 2010, dan proyeksi ke masa depan.

Simfoni Geliat Muda: Sebuah Antitesis Kebaruan

Tahun 2010 telah menjadi episode yang patut dikenang dalam diorama sastra Jawa Timur. Sebuah fenomena menggembirakan terkuak, laksana bunga-bunga muda yang mekar di musim semi: kian tumbuh-matangnya kaum muda dalam peta kesusastraan. Mereka, dengan spirit dan keberanian yang membara, mulai mengisi ruang-ruang kosong, menyuarakan diksi-diksi segar, dan merobohkan sekat-sekat tradisi. Namun, di balik semarak ini, tersembunyi ironi yang getir: problem-problem fundamental yang membelenggu telah berakar jauh sebelum tahun-tahun yang lewat, dan kini menuntut sebuah solusi filosofis pada tahun 2011, agar gelombang kemajuan ini tak sekadar riak di permukaan, melainkan gelombang besar yang menggerakkan.


Arsitektur Sastra: Pilar-Pilar Penopang Imajinasi

Jawa Timur diberkahi dengan infrastruktur kesusastraan yang kokoh, bagaikan empat pilar yang menopang sebuah candi peradaban. Pertama, akademisi, yang menjadi rahim tempat bibit-bibit sastra ditanam dan disemaikan. Kedua, media massa, sebagai jendela publikasi dan arena pertarungan gagasan. Ketiga, even-even sastra, laksana panggung-panggung megah tempat para penyair dan prosais unjuk kebolehan. Dan keempat, komunitas kesenian, simpul-simpul vital yang mengikat kebersamaan dan mengobarkan semangat berkreasi.

Kampus, adalah episentrum pertama yang tak dapat diabaikan kontribusinya. Universitas Airlangga (Unair) di Surabaya, Universitas Negeri Surabaya (Unesa), dan Universitas Jember (Unej) adalah mata air yang tak pernah kering menelurkan para sastrawan. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, ditambah dengan Bahasa Inggris, Jepang, hingga Sosial Politik, menjadi laboratorium tempat kata-kata diuji, dibedah, dan dihidupkan. Di Unair, Teater Gapus dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar adalah arca-arca hidup yang tak henti mengukir nama-nama baru di lintasan sastra. Mahasiswa baru adalah energi kinetik, sementara para senior dan alumni menjadi jangkar yang membumikan diskusi dan pematangan diri.

Situasi serupa menggema di Unesa, dengan Teater Institut dan Komunitas Rabu Sore sebagai lokomotif pergerakan. Nama-nama seperti Muttaqin dan Umar Fauzi adalah penanda keberhasilan mereka dalam mengukir prestasi. Universitas Petra pun tak kalah cemerlang, menghasilkan prosais-prosais handal seperti Lan Fang, Ella Mart, dan Stevani Irawan, yang resonansinya bahkan mencapai media-media ibu kota. Hanya Unej, yang meski pernah melahirkan Mardi Luhung yang berwibawa, masih berjuang mencari titian untuk melahirkan bintang-bintang baru yang sebanding. Namun, api diskusi dan semangat menulis tak pernah padam di sana, menyisakan harapan akan kemunculan kejutan di masa depan.

Even-even kesusastraan, bagai oase di padang pasir kreativitas, memanjakan para sastrawan. Festival Seni Surabaya, Festival Seni Cak Durasim, Lomba Naskah Drama Remaja, dan berbagai sayembara, adalah arena tempaan yang mengasah kemampuan, mengukir prestasi, dan menguji kedalaman estetika. Pekan Seni Mahasiswa dan Pertemuan Sastrawan Muda (HALTE SASTRA) adalah simpul-simpul yang mempertemukan gagasan dan memperluas cakrawala. Tak dapat dimungkiri, di setiap lomba, lahir pula benih-benih keunggulan, memaksa para sastrawan untuk terus berinovasi.

Lalu, ada media massa, laksana corong yang menyuarakan narasi-narasi sastra. Lima harian besar—Jawa Pos, Surabaya Post, Radar Surabaya, Duta Masyarakat, Kompas Jawa Timur—menjadi galeri publikasi yang tak pernah sepi. Belum lagi majalah-majalah seperti Mimbar Pembangunan Agama, Media Dinas Pendidikan, Kidung, dan Bende. Media massa bukan sekadar wadah publikasi, melainkan juga ajang silaturahmi estetik, tempat para sastrawan saling mengukur pencapaian dan mengurai benang merah pemikiran.

Di luar ranah akademik dan media, komunitas kesusastraan non-kampus tumbuh subur, bagaikan akar-akar yang menopang pohon besar. Balai Pemuda, dengan Bengkel Muda Surabaya dan Dewan Kesenian Surabaya, adalah laboratorium hidup tempat sastrawan berkumpul, berdiskusi, dan diasah. Kehadiran sosok seperti Saiful Hadjar adalah mercusuar inspirasi. Dari Balai Pemuda, lahir banyak nama besar. Komunitas-komunitas lain pun bermekaran di berbagai daerah—Mojokerto, Sumenep, Bangkalan, Madiun, Ngawi, Tulungagung, Jombang, Malang—membuktikan bahwa denyut sastra tak hanya berpusat di kota besar. Dalam konteks ini, pesantren kerap kali menjelma menjadi pusat-pusat kebudayaan yang tak bisa diremehkan perannya, menyumbangkan dimensi spiritual dan filosofis dalam karya-karya yang lahir dari rahimnya.


Nirmala Infrakuasa, Problema Tak Teruraikan: Ironi dalam Ranah Penerbitan dan Kritik

Namun, di balik infrastruktur yang menjanjikan, dua problema fundamental membayangi, laksana awan mendung yang menutupi sang surya. Pertama, wilayah penerbitan. Dibandingkan dengan Yogyakarta, Jakarta, atau Bandung, geliat penerbitan di Jawa Timur terbilang senyap. Pasar buku terlalu didominasi oleh literatur keagamaan, klenik, dan kuliner, menyisakan sedikit ruang bagi buku sastra. Jika pun ada, jumlahnya terbatas dan distribusi yang kurang masif. Buku-buku terbitan Festival Seni Surabaya atau Dewan Kesenian Jawa Timur, meskipun berkualitas, kerap hanya beredar di kalangan terbatas, bahkan tak jarang dalam format stensilan.

Ini adalah sebuah anomali yang ironis. Padahal, dalam jagat sastra, penerbitan buku adalah barometer utama perhatian publik. Pemuatan di media massa, meski penting, memiliki keterbatasan. Puisi kerap bertumpuk dengan berita dan iklan, mengurangi konsentrasi pembaca. Sifat temporal harian juga mempersulit pengarsipan. Kita mengenal Acep Zamzam Noor, D. Zawawi Imron, Abdul Hadi, Mardi Luhung, atau Budi Darma bukan dari pemuatan di koran, melainkan dari buku-buku mereka. Kenyamanan dan intensitas membaca novel dalam bentuk buku, jauh melampaui cerita bersambung di koran. Penerbitan buku sastra adalah esensi keberlanjutan sebuah karya.

Problema kedua yang tak kalah mengakar adalah kritik sastra. Kemunculan sastrawan muda Jawa Timur, sayangnya, tak diiringi dengan lahirnya kritik sastra yang memadai. Akibatnya, sastrawan seolah "iseng sendiri," tanpa jembatan yang menghubungkan tafsir karya dengan publik. Ruang dialog yang krusial antara pencipta dan penafsir menjadi terputus. Pembaharuan dan eksplorasi estetik pun sulit teridentifikasi secara terperinci dan teoritis. Kehadiran beberapa kritikus seperti Shoim Anwar dan Tjahjono Kembar, serta para akademisi, belum sanggup memenuhi dahaga kritik yang proporsional. Kritik sastra, adalah kompas yang mengarahkan perjalanan estetik, cermin yang memantulkan keunggulan dan kelemahan sebuah karya, serta dialog yang menghidupkan tradisi.


Menuju Horizon Baru: Sebuah Panggilan Filosofis

Tahun 2011, adalah momentum krusial untuk mencari jalan keluar dari dua problem fundamental ini. Potensi ke arah sana sejatinya telah bersemayam. Upaya penerbitan yang dilakukan oleh Nurel dan Alang di Lamongan, meskipun terganjal modal, adalah sinyal harapan. Pun demikian dengan geliat penerbitan di Mojokerto dan Malang. Yang dibutuhkan adalah dorongan yang lebih komprehensif, sebuah injeksi energi yang memompa semangat kemandirian dan keberanian.

Pada ranah kritik sastra, panggilan ini tertuju kepada para akademisi dan sarjana sastra. Inilah saatnya mereka turun ke medan, melakukan penelitian yang berpijak pada kondisi kekaryaan sastra yang lebih konkret. Mereka harus menjadi arsitek-arsitek tafsir, membangun jembatan antara teks dan konteks, antara karya dan pembaca. Hanya dengan demikian, fenomena sastra Jawa Timur tak hanya menjadi riak, tetapi gelombang pasang yang membawa kapal-kapal imajinasi berlayar jauh, mengarungi samudra peradaban.

Jawa Timur adalah sebuah laboratorium sastra yang kaya, sebuah panggung tempat drama kehidupan dipentaskan melalui kata-kata. Kini, saatnya bagi kita semua—para sastrawan, akademisi, penerbit, kritikus, dan pembaca—untuk berkolaborasi, merajut benang-benang yang putus, dan membangun ekosistem sastra yang mandiri dan berdaya. Apakah kita akan menjawab panggilan filosofis ini, atau membiarkan potensi besar ini terkubur dalam senyap? Jawabannya ada di tangan kita, di setiap aksara yang kita tulis, di setiap diskusi yang kita gelorakan, di setiap buku yang kita terbitkan.

Posting Komentar

0 Komentar

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

Posting Komentar (0)

Statistik

3/related/default