SUMENEP– Di ufuk timur Pulau Madura, di antara hembusan angin laut dan bisikan kisah lampau, tersembunyi sebuah permata sejarah yang menanti untuk ditelusuri. Bukan sekadar jejak usang, melainkan sepotong mosaik keagungan masa lalu yang terpatri dalam bilik-bilik rumah tua dan pusara sederhana. Kita menyingkap tirai waktu, menengok kembali kepada sosok mulia: Nyai Talaga, adik kandung dari Adipati terakhir Sumenep yang meletakkan fondasi dinasti terkemuka, Bindara Saot.
Istana dalam Gerbang Desa: Saksi Bisu Abad Ke-18
Jauh di Dusun Talaga Timur, Desa Talaga, Kecamatan Ganding, Kabupaten Sumenep, berdiri tegak sebuah rumah kuno yang membisukan kisahnya selama lebih dari dua abad. Konon, dinding-dinding kayu yang lapuk oleh waktu ini adalah saksi bisu dari tahun 1785 Masehi, tahun yang sama tatkala kemegahan Masjid Jami' Keraton Sumenep didirikan di jantung kota. Sebuah riwayat tutur-temurun yang sarat makna, mengindikasikan bahwa pembangunan rumah ini bukan sekadar kebetulan, melainkan bagian integral dari grand design arsitektur dan sosial Keraton pada era itu.
Dalam lembaran-lembaran naskah silsilah Keraton Sumenep yang tersimpan rapi, Nyai Talaga terukir sebagai tokoh sentral yang pertama kali menghuni kediaman bersejarah ini. Ia adalah adinda seperut seayah dari Kanjeng Raden Tumenggung Tirtonegoro, yang lebih dikenal dengan julukan agungnya, Bindara Saot. Sosok Bindara Saot sendiri adalah Adipati Sumenep yang visioner, pembuka gerbang dinasti terakhir yang membawa Sumenep pada masa kejayaan. Bersama Nyai Narema, sang ibunda mulia, lahir pula Nyai Kadungdung, yang kemudian memilih bersemayam di Kertagena, Pamekasan, melengkapi untaian darah ningrat ini. Demikianlah penuturan R. B. Ja'far Shadiq, seorang punggawa dari Komunitas Ngopi Sejarah (Ngoser), yang belum lama ini melakukan napak tilas ziarah ke makam sang Nyai.
Dari Hamdanah Menjadi Talaga: Jejak Pusara Sang Adinda
Tak jauh dari bekas kediamannya, sekitar seratus langkah ke arah utara, terhampar makam sederhana Nyai Talaga. Sebuah pusara yang kini dijaga oleh keluarga almarhum K. Syukri, salah satu keturunannya yang masih setia mendiami rumah kuno tersebut. Di kalangan masyarakat Desa Talaga, sang Nyai ini akrab disapa dengan sebutan Nyai Hamilah, atau dalam versi yang lebih agung, Agung Hamilah. Julukan "Nyai Talaga" sendiri, adalah penanda dari tempat persemayaman dan pengabdiannya, di Desa Talaga yang kini mengabadikan namanya dalam sejarah lokal.
Makam Nyai Talaga, dalam pantauan kami, menyiratkan kesederhanaan yang mendalam, jauh dari kemewahan nisan-nisan bangsawan pada umumnya. Hanya sepasang nisan yang tertancap ke tanah, menjadi penanda abadi bagi jiwa yang telah berpulang. Sayangnya, nisan asli yang menyimpan sejarah lebih purba telah digantikan oleh nisan yang lebih baru. Namun, Ja'far Shadiq, dengan penuh hormat, menunjuk pada sepasang batu nisan kuno yang tergeletak di dekat makam, "Menurut cerita salah satu tokoh Talaga dulu, nisan ini yang asli," katanya, mengisyaratkan adanya warisan artefak yang menyimpan energi masa lalu.
Jalinan Darah dan Misteri Keturunan: Jejak Abadi Nyai Talaga
Kisah Nyai Talaga tak berhenti pada keagungan darah biru. Riwayat lisan menyebutkan bahwa sang Nyai telah mengikat janji suci dengan Kiai Shaleh, seorang ulama dari Desa Lembung, Kecamatan Lenteng. Kiai Shaleh sendiri adalah putra dari Kiai Bungso, yang tak lain adalah adik kandung dari Nyai Narema, ibunda Nyai Talaga. Dengan demikian, ikatan pernikahan ini adalah jalinan asmara di antara sanak saudara sepupu, yang lazim terjadi di kalangan bangsawan untuk menjaga kemurnian garis keturunan.
Namun, tirai sejarah seolah belum sepenuhnya tersingkap. Catatan lengkap mengenai riwayat hidup keduanya, apalagi deretan keturunan mereka, masih diselimuti misteri. Penelusuran hanya berhasil menemukan beberapa fragmen catatan keluarga yang secara jelas bersusur galur atau bernasab pada Nyai Talaga. Di antaranya adalah para kiai terpandang di kawasan Desa Gadu, Kecamatan Ganding, dan juga para kiai yang menjadi mercusuar ilmu di wilayah Desa Lembung, Kecamatan Lenteng. Mereka adalah pewaris takhta spiritual dan sosial, yang mungkin tanpa mereka sadari, mengalir dalam darahnya kebijaksanaan dan keagungan dari seorang Nyai Talaga, adik sang Raja, penjaga rahasia istana, dan simpul penting dalam untaian sejarah Sumenep yang tak lekang oleh zaman.

0 Komentar
Ferry Arbania , Sahabat Indonesia